Jumaat

Imam Abu Dawud

Setelah Imam Bukhari dan Imam Muslim, kini giliran Imam Abu Dawud yang juga merupakan tokoh kenamaan ahli hadith pada zamannya. Kealiman, kesalihan dan kemuliaannya semerbak mewangi hingga kini. Abu Dawud nama lengkapnya ialah Sulaiman bin al-Asy'as bin Ishaq bin Basyir bin Syidad bin 'Amr al-Azdi as-Sijistani, seorang imam ahli hadith yang sangat teliti, tokoh terkemuka para ahli hadith setelah dua imam hadith Bukhari dan Muslim serta pengarang kitab Sunan. Ia dilahirkan pada tahun 202 H/817 M di Sijistan. Perkembangan dan Perlawatannya Sejak kecilnya Abu Dawud sudah mencintai ilmu dan para ulama, bergaul dengan mereka untuk dapat mereguk dan menimba ilmunya.
Belum lagi mencapai usia dewasa, ia telah mempersiapkan dirinya untuk mengadakan perlawatan, mengelilingi berbagai negeri. Ia belajar hadith dari para ulama yang tidak sedikit jumlahnya, yang dijumpainya di Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Sagar, Khurasan dan negeri-negeri lain. Perlawatannya ke berbagai negeri ini membantu dia untuk memperoleh pengetahuan luas tentang hadith, kemudian hadith-hadith yang diperolehnya itu disaring dan hasil penyaringannya dituangkan dalam kitab As-Sunan. Abu Dawud mengunjungi Baghdad berkali-kali.
Di sana ia mengajarkan hadith dan fiqh kepada para penduduk dengan memakai kitab Sunan sebagai pegangannya. Kitab Sunan karyanya itu diperlihatkannya kepada tokoh ulama hadith, Ahmad bin Hanbal. Dengan bangga Imam Ahmad memujinya sebagai kitab yang sangat indah dan baik. Kemudian Abu Dawud menetap di Basrah atas permintaan gubernur setempat yang menghendaki supaya Basrah menjadi "Ka'bah" bagi para ilmuwan dan peminat hadith. Guru-gurunya Para ulama yang menjadi guru Imam Abu Dawud banyak jumlahnya.
Di antaranya guru-guru yang paling terkemuka ialah Ahmad bin Hanbal, al-Qa'nabi, Abu 'Amr ad-Darir, Muslim bin Ibrahim, Abdullah bin Raja', Abu'l Walid at-Tayalisi dan lain-lain. Sebahagian gurunya ada pula yang menjadi guru Imam Bukhari dan Imam Muslim, seperti Ahmad bin Hanbal, Usman bin Abi Syaibah dan Qutaibah bin Sa'id. Murid-muridnya (Para Ulama yang Mewarisi Hadithnya) Ulama-ulama yang mewarisi hadithnya dan mengambil ilmunya, antara lain Abu 'Isa at-Tirmidzi, Abu Abdur Rahman an-Nasa'i, putranya sendiri Abu Bakar bin Abu Dawud, Abu Awanah, Abu Sa'id al-A'rabi, Abu Ali al-Lu'lu'i, Abu Bakar bin Dassah, Abu Salim Muhammad bin Sa'id al-Jaldawi dan lain-lain. Cukuplah sebagai bukti pentingnya Abu Dawud, bahawa salah seorang gurunya, Ahmad bin Hanbal pernah meriwayatkan dan menulis sebuah hadith yang diterima dari padanya.
Hadith tersebut ialah hadith yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, dari Hammad bin Salamah dari Abu Ma'syar ad-Darami, dari ayahnya, sebagai berikut: "Rasulullah SAW. ditanya tentang 'atirah, maka ia menilainya baik." Akhlak dan Sifat-sifatnya yang Terpuji Abu Dawud adalah salah seorang ulama yang mengamalkan ilmunya dan mencapai darjat tinggi dalam ibadah, kesucian diri, wara' dan kesalehannya. Ia adalah seorang sosok manusia utama yang patut diteladani perilaku, ketenangan jiwa dan keperibadiannya. Sifat-sifat Abu Dawud ini telah diungkapkan oleh sebahagian ulama yang menyatakan: “Abu Dawud menyerupai Ahmad bin Hanbal dalam perilakunya, ketenangan jiwa dan kebagusan pandangannya serta keperibadiannya. Ahmad dalam sifat-sifat ini menyerupai Waki', Waki menyerupai Sufyan as-Sauri, Sufyan menyerupai Mansur, Mansur menyerupai Ibrahim an-Nakha'i, Ibrahim menyerupai 'Alqamah dan ia menyerupai Ibn Mas'ud. Sedangkan Ibn Mas'ud sendiri menyerupai Nabi SAW dalam sifat-sifat tersebut.” Sifat dan keperibadian yang mulia seperti ini menunjukkan atas kesempurnaan keberagamaan, tingkah laku dan akhlak. Abu Dawud mempunyai pandangan dan falsafah sendiri dalam cara berpakaian.
Salah satu lengan bajunya lebar namun yang satunya lebih kecil dan sempit. Seseorang yang melihatnya bertanya tentang kenyentrikan ini, ia menjawab: "Lengan baju yang lebar ini digunakan untuk membawa kitab-kitab, sedang yang satunya lagi tidak diperlukan. Jadi, kalau dibuat lebar, hanyalah berlebih-lebihan. Pujian Para Ulama Kepadanya Abu Dawud adalah juga merupakan "bendera Islam" dan seorang hafiz yang sempurna, ahli fiqh dan berpengetahuan luas terhadap hadith dan ilat-ilatnya. Ia memperoleh penghargaan dan pujian dari para ulama, terutama dari gurunya sendiri, Ahmad bin Hanbal. Al-Hafiz Musa bin Harun berkata mengenai Abu Dawud: "Abu Dawud diciptakan di dunia hanya untuk hadith, dan di akhirat untuk surga. Aku tidak melihat orang yang lebih utama melebihi dia." Sahal bin Abdullah At-Tistari, seorang yang alim mengunjungi Abu Dawud. Lalu dikatakan kepadanya: "Ini adalah Sahal, datang berkunjung kepada tuan." Abu Dawud pun menyambutnya dengan hormat dan mempersilahkan duduk. Kemudian Sahal berkata: "Wahai Abu Dawud, saya ada keperluan keadamu." Ia bertanya: "Keperluan apa?" "Ya, akan saya utarakan nanti, asalkan engkau berjanji akan memenuhinya sedapat mungkin," jawab Sahal. "Ya, aku penuhi maksudmu selama aku mampu," tandan Abu Dawud. Lalu Sahal berkata: "Jujurkanlah lidahmu yang engkau pergunakan untuk meriwayatkan hadith dari Rasulullah SAW. sehingga aku dapat menciumnya." Abu Dawud pun lalu menjulurkan lidahnya yang kemudian dicium oleh Sahal. Ketika Abu Dawud menyusun kitab Sunan, Ibrahim al-Harbi, seorang ulama ahli hadith berkata: "Hadith telah dilunakkan bagi Abu Dawud, sebagaimana besi dilunakkan bagi Nabi Dawud." Ungkapan ini adalah kata-kata simbolik dan perumpamaan yang menunjukkan atas keutamaan dan keunggulan seseorang di bidang penyusunan hadith. Ia telah mempermudah yang sulit, mendekatkan yang jauh dan memudahkan yang masih rumit dan pelik. Abu Bakar al-Khallal, ahli hadith dan fiqh terkemuka yang bermadzhab Hanbali, menggambarkan Abu Dawud sebagai berikut; Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy'as, imam terkemuka pada zamannya adalah seorang tokoh yang telah menggali beberapa bidang ilmu dan mengetahui tempat-tempatnya, dan tiada seorang pun pada masanya yang dapat mendahului atau menandinginya. Abu Bakar al-Asbihani dan Abu Bakar bin Sadaqah senantiasa menyinggung-nyingung Abu Dawud kerana ketinggian darjatnya, dan selalu menyebut-nyebutnya dengan pujian yang tidak pernah mereka berikan kepada siapa pun pada masanya. Madzhab Fiqh Abu Dawud Syaikh Abu Ishaq asy-Syairazi dalam asy-Syairazi dalam Tabaqatul-Fuqaha-nya menggolongkan Abu Dawud ke dalam kelompok murid-murid Imam Ahmad. Demikian juga Qadi Abu'l-Husain Muhammad bin al-Qadi Abu Ya'la (wafat 526 H) dalam Tabaqatul-Hanabilah-nya. Penilaian ini nampaknya disebabkan oleh Imam Ahmad merupakan gurunya yang istimewa. Menurut satu pendapat, Abu Dawud adalah bermadzhab Syafi'i. Menurut pendapat yang lain, ia adalah seorang mujtahid sebagaimana dapat dilihat pada gaya susunan dan sistematika Sunan-nya.
Terlebih lagi bahawa kemampuan berijtihad merupakan salah satu sifat khas para imam hadith pada masa-masa awal. Memandang Tinggi Kedudukan Ilmu dan Ulama Sikap Abu Dawud yang memandang tinggi terhadap kedudukan ilmu dan ulama ini dapat dilihat pada kisah berikut sebagaimana dituturkan, dengan sanad lengkap, oleh Imam al-Khattabi, dari Abu Bakar bin Jabir, pembantu Abu Dawud. Ia berkata: "Aku bersama Abu Dawud tinggi di Baghdad. Pada suatu waktu, ketika kami selesai menunaikan shalat Maghrib, tiba-tiba pintu rumah diketuk orang, lalu pintu aku buka dan seorang pelayan melaporkan bahawa Amir Abu Ahmad al-Muwaffaq mohon ijin untuk masuk. Kemudian aku melapor kepada Abu Dawud tentang tamu ini, dan ia pun mengijinkan. Sang Amir pun masuk, lalu duduk.
Tak lama kemudian Abu Dawud menemuinya seraya berkata: "Gerangan apakah yang membawamu datang ke sini pada saat seperti ini?" "Tiga kepentingan," jawab Amir. "Kepentingan apa?" tanyanya. Amir menjelaskan, "Hendaknya tuan berpindah ke Basrah dan menetap di sana, supaya para penuntut ilmu dari berbagai penjuru dunia datang belajar kepada tuan; dengan demikian Basrah akan makmur kembali. Ini mengingat bahawa Basrah telah hancur dan ditinggalkan orang akibat tragedy Zenji." Abu Dawud berkata: "Itu yang pertama, sebutkan yang kedua!" "Hendaknya tuan berkenan mengajarkan kitab Sunan kepada putra-putraku," kata Amir. "Ya, ketiga?" Tanya Abu Dawud kembali. Amir menerangkan: "Hendaknya tuan mengadakan majlis tersendiri untuk mengajarkan hadith kepada putra-putra khalifah, sebab mereka tidak mau duduk bersama-sama dengan orang umum." Abu Dawud menjawab: "Permintaan ketiga tidak dapat aku penuhi; sebab manusia itu baik pejabat terhormat maupun rakyat melarat, dalam bidang ilmu sama." Ibn Jabir menjelaskan: "Maka sejak itu putra-putra khalifah hadir dan duduk bersama di majlis taklim; hanya saja di antara mereka dengan orang umum di pasang tirai, dengan demikian mereka dapat belajar bersama-sama." Maka hendaknya para ulama tidak mendatangi para raja dan penguasa, tetapi merekalah yang harus datang kepada para ulama.
Dan kesamaan darjat dalam ilmu dan pengetahuan ini, hendaklah dikembangkan apa yang telah dilakukan Abu Dawud tersebut. Tanggal Wafatnya Setelah mengalami kehidupan penuh berkat yang diisi dengan aktivitas ilmia, menghimpun dan menyebarluaskan hadith, Abu Dawud meninggal dunia di Basrah yang dijadikannya sebagai tempat tinggal atas permintaan Amir sebagaimana telah diceritakan. Ia wafat pada tanggal 16 Syawwal 275 H/889M. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepadanya. Karya-karyanya Imam Abu Dawud banyak memiliki karya, antara lain: · Kitab AS-Sunnan (Sunan Abu Dawud). · Kitab Al-Marasil. · Kitab Al-Qadar. · An-Nasikh wal-Mansukh. · Fada'il al-A'mal. · Kitab Az-Zuhd. · Dala'il an-Nubuwah. · Ibtida' al-Wahyu. · Ahbar al-Khawarij.
Di antara karya-karya tersebut yang paling bernilai tinggi dan masih tetap beredar adalah kitab Amerika Serikat-Sunnan, yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Abi Dawud. Kitab Sunan Karya Abu Dawud Metode Abu Dawud dalam Penyusunan Sunan-nya Karya-karya di bidang hadith, kitab-kitab Jami' Musnad dan sebagainya disamping berisi hadith-hadith hukum, juga memuat hadith-hadith yang berkenaan dengan amal-amal yang terpuji (fada'il a'mal) kisah-kisah, nasehat-nasehat (mawa'iz), adab dan tafsir. Cara demikian tetap berlangsung sampai datang Abu Dawud. Maka Abu Dawud menyusun kitabnya, khusus hanya memuat hadith-hadith hukum dan sunnah-sunnah yang menyangkut hukum. Ketika selesai menyusun kitabnya itu kepada Imam Ahmad bin Hanbal, dan Ibn Hanbal memujinya sebagai kitab yang indah dan baik. Abu Dawud dalam sunannya tidak hanya mencantumkan hadith-hadith shahih semata sebagaimana yang telah dilakukan Imam Bukhari dan Imam Muslim, tetapi ia memasukkan pula kedalamnya hadith shahih, hadith hasan, hadith dha'if yang tidak terlalu lemah dan hadith yang tidak disepakati oleh para imam untuk ditinggalkannya. Hadith-hadith yang sangat lemah, ia jelaskan kelemahannya. Cara yang ditempuh dalam kitabnya itu dapat diketahui dari suratnya yang ia kirimkan kepada penduduk Makkah sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan mereka mengenai kitab Sunannya. Abu Dawud menulis sbb: "Aku mendengar dan menulis hadith Rasulullah SAW sebanyak 500.000 buah. Dari jumlah itu, aku seleksi sebanyak 4.800 hadith yang kemudian aku tuangkan dalam kitab Sunan ini. Dalam kitab tersebut aku himpun hadith-hadith shahih, semi shahih dan yang mendekati shahih.
Dalam kitab itu aku tidak mencantumkan sebuah hadith pun yang telah disepakati oleh orang banyak untuk ditinggalkan. Segala hadith yang mengandung kelemahan yang sangat ku jelaskan, sebagai hadith macam ini ada hadith yang tidak shahih sanadnya. Adapun hadith yang tidak kami beri penjelasan sedikit pun, maka hadith tersebut bernilai salih (bias dipakai alasan, dalil), dan sebahagian dari hadith yang shahih ini ada yang lebih shahih daripada yang lain. Kami tidak mengetahui sebuah kitab, sesudah Qur'an, yang harus dipelajari selain daripada kitab ini. Empat buah hadith saja dari kitab ini sudah cukup menjadi pegangan bagi keberagaman tiap orang.
Hadith tersebut adalah, yang ertinya:
Pertama: "Segala amal itu hanyalah menurut niatnya, dan tiap-tiap or memperoleh apa yang ia niatkan. Kerana itu maka barang siapa berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya pula. Dan barang siapa hijrahnya kerana untuk mendapatkan dunia atau kerana perempuan yang ingin dikawininya, maka hijrahnya hanyalah kepada apa yang dia hijrah kepadanya itu."
Kedua: "Termasuk kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa yang tidak berguna baginya."
Ketiga: "Tidaklah seseorang beriman menjadi mukmin sejati sebelum ia merelakan untuk saudaranya apa-apa yang ia rela untuk dirinya."
Keempat: "Yang halal itu sudah jelas, dan yang haram pun telah jelas pula. Di antara keduanya terdapat hal-hal syubhat (atau samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Barang siapa menghindari syubhat, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatan dirinya; dan barang siapa terjerumus ke dalam syubhat, maka ia telah terjerumus ke dalam perbuatan haram, ibarat penggembala yang menggembalakan ternaknya di dekat tempat terlarang.
Ketahuilah, sesungguhnya setiap penguasa itu mempunyai larangan. Ketahuilah, sesungguhnya larangan Allah adalah segala yang diharamkan-Nya. Ingatlah, di dalam rumah ini terdapat sepotong daging, jika ia baik, maka baik pulalah semua tubuh dan jika rusak maka rusak pula seluruh tubuh. Ingatlah, ia itu hati." Demikianlah penegasan Abu Dawud dalam suratnya. Perkataan Abu Dawud itu dapat dijelaskan sebagai berikut: Hadith pertama adalah ajaran tentang niat dan keikhlasan yang merupakan asas utama bagi semua amal perbuatan diniah dan duniawiah. Hadith kedua merupakan tuntunan dan dorongan bagi ummat Islam agar selalu melakukan setiap yang bermanfaat bagi agama dan dunia. Hadith ketiga, mengatur tentang hak-hak keluarga dan tetangga, berlaku baik dalam pergaulan dengan orang lain, meninggalkan sifat-sifat egoistis, dan membuang sifat iri, dengki dan benci, dari hati masing-masing. Hadith keempat merupakan dasar utama bagi pengetahuan tentang halal haram, serta cara memperoleh atau mencapai sifat wara', yaitu dengan cara menjauhi hal-hal musykil yang samar dan masih dipertentangkan status hukumnya oleh para ulama, kerana untuk menganggap enteng melakukan haram. Dengan hadith ini nyatalah bahawa keempat hadith di atas, secara umum, telah cukup untuk membawa dan menciptakan kebahagiaan.
Komentar Para Ulama Mengenai Kedudukan Kitab Sunan Abu Dawud Tidak sedikit ulama yang memuji kitab Sunan ini. Hujatul Islam, Imam Abu Hamid al-Ghazali berkata: "Sunan Abu Dawud sudah cukup bagi para mujtahid untuk mengetahui hadith-hadith ahkam." Demikian juga dua imam besar, An-Nawawi dan Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah memberikan pujian terhadap kitab Sunan ini bahkan beliau menjadikan kitab ini sebagai pegangan utama di dalam pengambilan hukum. Hadith-hadith Sunan Abu Dawud yang Dikritik Imam Al-Hafiz Ibnul Jauzi telah mengkritik beberapa hadith yang dicantumkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya dan memandangnya sebagai hadith-hadith maudhu’ (palsu). Jumlah hadith tersebut sebanyak 9 buah hadith. Walaupun demikian, disamping Ibnul Jauzi itu dikenal sebagai ulama yang terlalu mudah memvonis "palsu", namun kritik-kritik telah ditanggapi dan sekaligus dibantah oleh sebahagian ahli hadith, seperti Jalaluddin as-Suyuti.
Dan andaikata kita menerima kritik yang dilontarkan Ibnul Jauzi tersebut, maka sebenarnya hadith-hadith yang dikritiknya itu sedikit sekali jumlahnya, dan hampir tidak ada pengaruhnya terhadap ribuan hadith yang terkandung di dalam kitab Sunan tersebut. Kerana itu kami melihat bahawa hadith-hadith yang dikritik tersebut tidak mengurangi sedikit pun juga nilai kitab Sunan sebagai referensi utama yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahanya. Jumlah Hadith Sunan Abu Dawud Di atas telah disebutkan bahawa isi Sunan Abu Dawud itu memuat hadith sebanyak 4.800 buah hadith. Namun sebahagian ulama ada yang menghitungnya sebanyak 5.274 buah hadith.
Perbedaan jumlah ini disebabkan bahawa sebahagian orang yang menghitungnya memandang sebuah hadith yang diulang-ulang sebagai satu hadith, namun yang lain menganggapnya sebagai dua hadith atau lebih. Dua jalan periwayatan hadith atau lebih ini telah dikenal di kalangan ahli hadith. Abu Dawud membagi kitab Sunannya menjadi beberapa kitab, dan tiap-tiap kitab dibagi pula ke dalam beberapa bab. Jumlah kitab sebanyak 35 buah, di antaranya ada 3 kitab yang tidak dibagi ke dalam bab-bab. Sedangkan jumlah bab sebanyak 1,871 buah bab. Sumber: Kitab Hadith Shahih yang Enam, Muhammad Muhammad Abu Syuhbah.

Imam Muslim

Penghimpun dan penyusun hadith terbaik kedua setelah Imam Bukhari adalah Imam Muslim. Nama lengkapnya ialah Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al-Qusyairi an-Naisaburi. Ia juga mengarang kitab As-Shahih (terkenal dengan Shahih Muslim). Ia salah seorang ulama terkemuka yang namanya tetap dikenal hingga kini. Ia dilahirkan di Naisabur pada tahun 206 H. menurut pendapat yang shahih sebagaimana dikemukakan oleh al-Hakim Abu Abdullah dalam kitabnya 'Ulama'ul-Amsar.
Kehidupan dan Lawatannya untuk Mencari Ilmu Ia belajar hadith sejak masih dalam usia dini, yaitu mulaii tahun 218 H. Ia pergi ke Hijaz, Iraq, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya. Dalam lawatannya Imam Muslim banyak mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk berguru hadith kepada mereka. Di Khurasan, ia berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray ia berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu 'Ansan. Di Irak ia belajar hadith kepada Ahmad bin Hambal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz belajar kepada Sa'id bin Mansur dan Abu Mas'Abuzar; di Mesir berguru kepada 'Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan kepada ulama ahli hadith yang lain. Muslim berkali-kali mengunjungi Baghdad untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadith, dan kunjungannya yang terakhir pada 259 H. di waktu Imam Bukhari datang ke Naisabur, Muslim sering datang kepadanya untuk berguru, sebab ia mengetahui jasa dan ilmunya. Dan ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az-Zihli, ia bergabung kepada Bukhari, sehingga hal ini menjadi sebab terputusnya hubungan dengan Az-Zihli. Muslim dalam Shahihnya maupun dalam kitab lainnya, tidak memasukkan hadith-hadith yang diterima dari Az-Zihli padahal ia adalah gurunya.
Hal serupa ia lakukan terhadap Bukhari. Ia tidak meriwayatkan hadith dalam Shahihnya, yang diterimanya dari Bukhari, padahal iapun sebagai gurunya. Nampaknya pada hemat Muslim, yang lebih baik adalah tidak memasukkan ke dalan Shahihnya hadith-hadith yang diterima dari kedua gurunya itu, dengan tetap mengakui mereka sebagai guru. Wafatnya Imam Muslim wafat pada Minggu sore, dan dikebumikan di kampung Nasr Abad, salah satu daerah di luar Naisabur, pada hari Senin, 25 Rajab 261 H. dalam usia 55 tahun. Guru-gurunya Selain yang telah disebutkan di atas, Muslim masih mempunyai banyak ulama yang menjadi gurunya. Di antaranya : Usman dan Abu Bakar, keduanya putra Abu Syaibah; Syaiban bin Farwakh, Abu Kamil al-Juri, Zuhair bin Harb, Amr an-Naqid, Muhammad bin al-Musanna, Muhammad bin Yassar, Harun bin Sa'id al-Ayli, Qutaibah bin Sa'id dan lain sebagainya.
Keahlian dalam Hadith Apabila Imam Bukhari merupakan ulama terkemuka di bidang hadith shahih, berpengetahuan luas mengenai ilat-ilat dan seluk beluk hadith, serta tajam kritiknya, maka Imam Muslim adalah orang kedua setelah Imam Bukhari, baik dalam ilmu dan pengetahuannya maupun dalam keutamaan dan kedudukannya. Imam Muslim banyak menerima pujian dan pengakuan dari para ulama ahli hadith maupun ulama lainnya. Al-Khatib al-Baghdadi berketa, "Muslim telah mengikuti jejak Bukhari, memperhatikan ilmunya dan menempuh jalan yang dilaluinya." Pernyataan ini tidak bererti bahawa Muslim hanyalah seorang pengekor. Sebab, ia mempunyai ciri khas dan karakteristik tersendiri dalam menyusun kitab, serta metode baru yang belum pernah diperkenalkan orang sebelumnya. Abu Quraisy al-Hafiz menyatakan bahawa di dunia ini orang yang benar-benar ahli di bidang hadith hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Muslim (Tazkiratul Huffaz, jilid 2, hal. 150). Maksud perkataan tersebut adalah ahli-ahli hadith terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy, sebab ahli hadith itu cukup banyak jumlahnya.
Karya-karya Imam Muslim Imam Muslim meninggalkan karya tulis yang tidak sedikit jumlahnya, di antaranya : · Al-Jami' as-Shahih (Shahih Muslim). · Al-Musnadul Kabir (kitab yang menerangkan nama-nama para perawi hadith). · Kitabul-Asma' wal-Kuna. · Kitab al-'Ilal. · Kitabul-Aqran. · Kitabu Su'alatihi Ahmad bin Hambal. · Kitabul-Intifa' bi Uhubis-Siba'. · Kitabul-Muhadramin. · Kitabu man Laisa lahu illa Rawin Wahid. · Kitab Auladis-Sahabah. · Kitab Awhamil-Muhadditsin. Kitab Shahih Muslim Di antara kitab-kitab di atas yang paling agung dan sangat bermanfat luas, serta masih tetap beredar hingga kini ialah Al-Jami' as-Shahih, terkenal dengan Shahih Muslim. Kitab ini merupakan salah satu dari dua kitab yang paling shahih dan murni sesudah Kitabullah. Kedua kitab Shahih ini diterima baik oleh segenap umat Islam. Imam Muslim telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk meneliti dan mempelajari keadaan para perawi, menyaring hadith-hadith yang diriwayatkan, membandingkan riwayat-riwayat itu satu sama lain.
Muslim sangat teliti dan hati-hati dalam menggunakan lafaz-lafaz, dan selalu memberikan isyarat akan adanya perbedaan antara lafaz-lafaz itu. Dengan usaha yang sedeemikian rupa, maka lahirlah kitab Shahihnya. Bukti konkrit mengenai keagungan kitab itu ialah suatu kenyataan, di mana Muslim menyaring isi kitabnya dari ribuan riwayat yang pernah didengarnya. Diceritakan, bahawa ia pernah berkata: "Aku susun kitab Shahih ini yang disaring dari 300.000 hadith." Diriwayatkan dari Ahmad bin Salamah, yang berkata : "Aku menulis bersama Muslim untuk menyusun kitab Shahihnya itu selama 15 tahun. Kitab itu berisi 12.000 buah hadith. Dalam pada itu, Ibn Salah menyebutkan dari Abi Quraisy al-Hafiz, bahawa jumlah hadith Shahih Muslim itu sebanyak 4.000 buah hadith. Kedua pendapat tersebut dapat kita kompromikan, yaitu bahawa perhitungan pertama memasukkan hadith-hadith yang berulang-ulang penyebutannya, sedangkan perhitungan kedua hanya menghitung hadith-hadith yang tidak disebutkan berulang. Imam Muslim berkata di dalam Shahihnya: "Tidak setiap hadith yang shahih menurutku, aku cantumkan di sini, yakni dalam Shahihnya.
Aku hanya mencantumkan hadith-hadith yang telah disepakati oleh para ulama hadith." Imam Muslim pernah berkata, sebagai ungkapan gembira atas karunia Tuhan yang diterimanya: "Apabila penduduk bumi ini menulis hadith selama 200 tahun, maka usaha mereka hanya akan berputar-putar di sekitar kitab musnad ini." Ketelitian dan kehati-hatian Muslim terhadap hadith yang diriwayatkan dalam Shahihnya dapat dilihat dari perkataannya sebagai berikut : "Tidaklah aku mencantumkan sesuatu hadith dalam kitabku ini, melainkan dengan alasan; juga tiada aku menggugurkan sesuatu hadith daripadanya melainkan dengan alas an pula." Imam Muslim di dalam penulisan Shahihnya tidak membuat judul setiap bab secara terperinci. Adapun judul-judul kitab dan bab yang kita dapati pada sebahagian naskah Shahih Muslim yang sudah dicetak, sebenarnya dibuat oleh para pengulas yang datang kemudian.
Di antara pengulas yang paling baik membuatkan judul-judul bab dan sistematika babnya adalah Imam Nawawi dalam Syarahnya. Sumber: Kitab Hadith Shahih yang Enam, Muhammad Muhammad Abu Syuhbah.

Erti Cinta

Menentukan cinta kerana Allah Cinta yang hakiki yang didasarkan kerana Allah semata-mata, ialah bila anda mencintai seseorang bukan kerana peribadinya, malah kerana kelebihan-kelebihannya yang bergantung dengan keakhiratannya. Misal cinta itu ialah: Seseorang yang mencintai gurunya sebab menerusi guru itu ia akan memperolehi ilmu pengetahuan yang akan memperbaiki amalannya. Sedang tujuan utama dari menuntut ilmu pengetahuan dan amalan yang baik itu, ialah keselamatan diri di Hari Akhirat.
Inilah yang dikatakan antara contoh-contoh cinta kerana Allah semata-mata. Misal yang lain ialah: Seorang guru mencintai muridnya, sebab kepadanya guru itu dapat menurunkan ilmu pengetahuan dan dengan sebab itu pula guru itu memperoleh pangkat seorang pendidik atau guru. Orang ini juga, dikira cintanya kerana Allah semata-mata.
Begitu pula orang yang bersedekah dengan harta bendanya kerana menuntut keredhaan Allah, atau orang yang suka mengundang tetamu di rumahnya, lalu menghidangkan berbagai-bagai makanan yang lazat, semata-mata kerana ingin mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Kemudian lahirlah dalam diri orang itu perasaan sayang dan kasih terhadap tukang masaknya, kerana kemahirannya untuk menyediakan makanan-makanan yang lazat; cinta ini juga dikira sebagai cinta kerana Allah.
Misal lain lagi ialah misal seorang yang suka menyampaikan sedekah kepada orang-orang yang memerlukannya, maka perilakunya itu dikira sebagai cinta kerana Allah juga. Ataupun orang yang mencintai pekerja yang membantu mencuci pakaiannya, membersihkan rumahnya, dan memasak makanannya, yang mana dengan terlepasnya ia dari tugas-tugas ini, senanglah ia dapat menuntut ilmu atau membuat pekerjaan yang lain, sedang tujuan utama dari mempekerjakan orang itu semata-mata kerana melapangkan diri untuk memperbanyakkan ibadat, maka ia juga terkira pencinta kerana Allah. Begitu juga ia mencintai seorang kerana orang itu mencukupkan keperluannya dari wang dan pakaian, makanan dan rumah dan lain-lain keperluan yang mesti untuk kehidupan di dunia, sedang maksud orang yang menderma itu ialah supaya ia dapat melapangkan diri untuk menuntut ilmu pengetahuan yang berguna, sambil melakukan amalan-amalan yang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala maka cintanya itu dikira kerana Allah Ta’ala jua.
Segolongan para Salaf Saleh yang terdahulu, sering segala keperluannya ditanggung oleh hartawan-hartawan yang murah hati. Jadi dalam hal ini, kedua-dua pihak tergolong pencinta-pencinta yang mencari keredhaan Allah Ta’ala. Juga, jika seseorang itu menikahi seorang wanita yang salehah untuk melindungi dari godaan syaitan, serta memelihara agamanya, atau untuk menginginkan seorang anak yang saleh dari pernikahan itu, ataupun dia mencintai isterinya kerana menerusinya ia dapat sampai kepada tujuan-tujuan yang suci, seperti misal-misal yang disebutkan di atas tadi, maka ia adalah seorang pencinta kerana Allah Ta’ala.
Demikian pula, jika seseorang itu dalam hatinya tersemat cinta kerana Allah dan dunia, seperti seorang yang mencintai guru yang mendidiknya, lalu ia pun mencukupkan segala keperluan guru itu di dunia dengan wang dan sebagainya, maka ia dikira orang yang mencintai kerana Allah. Seterusnya, bukanlah dari syarat-syarat cinta kerna Allah Ta’ala itu, ia mesti tinggalkan semua nasibnya dari harta kekayaan dunia sama sekali, sebab para Nabi salawatullahi alaihim sering menyeru kita berdoa, agar Allah s.w.t. mencukupkan kedua-dua keperluan dunia dan akhirat. “Wahai Tuhan kami! Berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat.” (al-Baqarah: 201) Juga dalam doa yang ma’tsur berbunyi: “Ya Allah! Ya Tuhanku! Sesungguhnya aku memohon daripadaMu kerahmatan yang dengannya aku boleh memperoleh pangkat kehormatanMu di dunia dan di akhirat.” Bila kecintaan seseorang kepada Allah telah menjadi kukuh, niscaya akan muncul wataknya perasaan suka membantu dan menolong serta mengutamakan orang lain dari diri sendiri, bersedia untuk membelanjakan segala yang dimilikinya dari harta, jiwa dan nasihat yang baik.
Dalam hal ini manusia adalah berbeda menurut perbedaan darjat kecintaannya terhadap Allah azzawajalla. Ia akan dicuba dalam kecintaannya itu dengan berbagai-bagai percubaan yang bertalian dengan kepentingan-kepentingan dirinya, sehingga ada kalanya semua kepentingan itu sudah tidak ada yang tinggal lagi, semuanya telah dibelanjakan bagi kepentingan orang yang dicintainya itu, Terkadang-kadang ditentukan sebahagian untuk diri sendiri, manakala yang lain diberikan kepada orang-orang yang dicintainya. Tidak kurang juga, orang yang membahagikan harta kekayaannya kepada dua, satu bahagian untuk dirinya dan satu bahagian lagi untuk kekasihnya, ada yang memberikan sepertiga dari harta kekayaan, dan ada sepersepuluh dan seterusnya. Banyak atau sedikit wang yang dibelanjakan itu bergantung pada rasa cintanya terhadap orang itu, sebab tidak dapat ditentukan darjat cinta itu, melainkan dengan kadar harta yang dibelanjakan kepada para kekasihnya. Maka barangsiapa hatinya telah dipenuhi oleh rasq cinta kerana Allah, tidak ada benda-benda lain yang masih dicintakan lagi, selain dari cintanya kepada Allah semata-mata. Ketika itu tidak akan meninggalkan sesuatu benda pun dari harta kekayaannya, melainkan semuanya dibelanjakan kerana Allah s.w.t. Contoh dalam misal ini, ialah Saiyidina Abu Bakar as-Siddiq (Khalifah Islam pertama), beliau telah menyerahkan puterinya Aisyah (untuk dikahwinkan kepada Rasulullah s.a.w. – pent), sedangkan aisyah itu cahaya matanya kemudian dibelanjakan semua harta bendanya kerana Allah s.w.t.
Dengan itu disimpulkan, bahwasanya sesiapa yang mencintai seorang alim atau’ abid, ataupun dia mencintai penuntut ilmu pengetahuan atau orang yang sepanjang masanya beribadat atau membuat kebaikan, maka yakinlah bahawasanya ia mencintainya itu kerana Allah dan untuk Allah dan tentulah ia akan mendapat ganjaran pahala dan kurnia dari Allah Ta’ala menurut kadar kekuatan cintanya itu.